Di Indonesia Arema adalah prototype klub sepakbola yang mandiri dan profesional. Namun sejauh ini Arema baru mencapai tahap mandiri dan masih proses ke tahap profesional sepenuhnya.

Untuk menuju ke tahap profesionalisme Arema masih dibenturkan dengan beberapa issue subtantif berkaitan dengan kemajuan Arema. Krisis dana yang dialami Arema adalah impact dari prosesi untuk menjadi klub yang profesional namun belum juga selesai. Jika dihitung sejak awal berdirinya Arema yang selalu mandiri dan murni dari sokongan APBD mestinya proses pembelajaran itu tidak berlangsung selama ini. Ibaratnya Arema telah memperoleh dukungan ilmu mumpuni, namun kenapa masih belum jua dinyatakan "lulus"?


Arema bukan lagi sekedar klub sepakbola. "Arema are more than just a football club. They are a way of life. They are the St Pauli of Indonesia. A culture with in a culture. Satu Jiwa, one heart or one soul" tegas Anthony Sutton kolumnis ESPN yang bermukim di Indonesia dan mengelola blog Jakarta Casual.

Kini, Arema pun (sengaja dibuat) pecah. seiring pecahnya pengelolaan kompetisi sepakbola yang mengaku "profesional".  Dengan berbagai dalih dan alasan, semua berebut posisi. Mengklaim dirinya yang paling benar. Bahkan seringkali Arema ditunggangi untuk kepentingan politik sesaat.

Carut marut sepakbola Indonesia sendiri disebabkan oleh masalah klasik yang selalu aktual : UANG. Kisruh dalam pendanaan olahraga, khususnya pendanaan sepakbola profesional melalui APBD sudah banyak dibahas. Pro-Kontra dilontarkan dengan berbagai argumen dengan berbagai landasan peraturannya. Berikut saya coba petakan problem dan sumber masalah sebagai pemicunya, yang sebagian besar didominasi dalam pengaturan sebagai problem  hukum yang memunculkan beberapa petunjuk teknis oleh Mendagri dan BPK dalam urusan pendanaan bagi sepakbola profesional.

Problem Pengaturan
Problem yang mengawali kisruh  dalam pendanaan sepakbola profesional terutama bersumber dari UU No. 3/2005  tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Pasal 69 ayat (2) UU ini yang mengatur pendanaan keolahragaan mengamanatkan agar ” Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui APBN dan APBD“. Bahkan Pasal 70 (1) menegaskan jika “Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan“. Lanjut lagi ke Pasal 71 (2) dengan amanat “Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.

Teranglah jika pendanaan keolahragaan dari APBN maupun APBD selama ini dilakukan melalui mekanisme ‘hibah berdasarkan ‘prinsip kecukupan dan keberlanjutan‘. Celakanya, UU ini tidak spesifik  menegaskan jika pendanaan itu hanya berlaku untuk  olahraga amatir saja. UU ini hanya sekedar membuat kriteria olah raga amatir dan profesional. Bahkan dengan yang sangat sumir bahwa “Olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga” tanpa tinadak lanjut parameter hukumnya.  Bandingkan dengan syarat klub profesional menurut AFC yang  lebih terukur mencakup status badan hukum, audit, sarana, dan sebagainya.

Celakanya pula, Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 2007 Tentang Pendanaan Keolahragaan sebagai pelaksana UU Keolahragaan tidak menutup ‘lubang hukum’ yang dalam UU nya. Sementara sebelum keluar peraturan pemerintah ini telah terbit PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan beberapa Permendagri sebagai revisinya. Sebelum akhirnya keluar Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Hibah dan Bantuan Sosial.

Problem hukum muncul ketika PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 secara prinsip mengamanatkan adanya “larangan untuk mengalokasikan dana hibah dan bantuan sosial secara berulang kepada penerima yang sama“.  Amanat yang sungguh bertentangan dengan “Prinsip kecukupan dan keberlanjutan” dalam UU 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Maka terjadilah tarik menarik antara dua peraturan hukum yang enggak nyambung itu. Dan sebagaimana adagium hukum yang ada, berlakulah prinsip ‘Peraturan (hukum) yang lebih tinggi mengesampingkan Peraturan (hukum) yang lebih rendah.  Sehingga terjadilah ‘kemandulan’ PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2005. Kedua peraturan itu tidak dapat ditegakkan.

Problem ini menunjukkan kacaunya sistem perundang-undangan di Indonesia. Dimana PP No. 58 Tahun 2005 beserta Permendagri bentukannya, tidak gayut dengan UU 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Padahal keduanya mempunyai benang merah yang kuat. PP tentang pengelolaan keuangan daerah dengan kacamata kudanya hanya melihat UU Pemerintahan Daerah, UU Keuangan Negara, dan UU Perbendaharaan Negara sebagai landasan pembentukannya. Tidak disadari jika ada senggolan dengan masalah keolahragaan.

Karena itu, saat ini dengan terbitnya Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolan Dana Hibah dan Bantuan Sosial, yang tegas menyatakan bahwa hibah APBD hanya diperuntukkan bagi ‘keolahragaan non-profesional’ semoga dapat mengurangi sahwat tikus2 bola untuk menggangsir ‘apel malang’ melalui APBD. Sehingga prinsip “kecukupan dan keberlanjutan“  dalam UU No. 3 Tahun 2005 harus dibaca sebagai kecukupan dan kelanjutan  bagi olahraga “Non-Profesional” saja.

Sayangnya — Permendagri No. 32/2011 pun tidak mengutip UU No. 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan PP No. 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan sebagai   landasan  pembentukannya. Sungguh– menunjukkan ketidaktelitian para pembentuk peraturan di Kementerian Dalam Negeri dalam proses legal drafting.  Padahal isu dan keramaian soal pendanaan di (olahraga) sepakbola telah bergulir sejak sebelum disahkannya Permendagri No. 32 Tahun 2011 pada tanggal 27 Juli 2011.

Perlunya Kriterium Olah Raga Profesional
Persoalan ini menggambarkan kebutuhan kebijakan pemerintah terhadap sifat dan karakter olahraga profesional di Indonesia. Karena persoalan pendanaan olahraga–terkait kriteria ‘Non-profesional’ dengan ‘Profesional’  bukan monopoli persoalan sepakbola saja. Masih banyak cabang olahraga lain yang perlu didefinisikan parameter profesionalnya. Karena karakteristik profesional antara sepak bola dengan tinju misalnya, tentu akan sangat berbeda. Tinju bersifat perorangan, sepakbola berkarakter kelompok (klub). Tinju mungkin tidak perlu berbentuk berbadan hukum, sepakbola harus berbadan hukum.

Lebih dari itu, status badan hukum olahraga profesional yang harus berbentuk badan hukum pun harus rinci. Seperti misalnya, bolehkah bentuk badan hukum yayasan pada sepakbola? Atau Badan Usaha Milik Daerah misalnya? Ini perlu kejelasan — karena kedua bentuk badan hukum tersebut dapat menjadi lubang  para tikus2 bola hanya sekedar untuk   menggangsir dana APBD yang umunya dikelola para politikus (Bupati/Gubernur/DPRD) yang  fasih mengotak-atik anggaran.

Apakah kriterium ‘profesional’ sepakbola Indonesia hanya sekedar mengacu kepada FIFA/AFC? Meskipun hal ini dimungkinkan, tetapi akan menjadi aneh karena dana APBD dan APBN nota bene adalah uang rakyat Indonesia. Kenapa alokasi pendanannya harus tunduk pada kriterium ‘Pro dan Non-Pro’ dari FIFA/AFC? Kalaupun kriterium FIFA/AFC diterapkan dalam turnamen dan pertandingan yang mereka kelola tentu bukanlah soal. Tetapi dalam pendanaan hibahnya tentu pemerintah (Indonesia) harus mempunyai kriterium sendiri. Karena ini alokasi ini dari uang rakyat. Jika kriterium pemerintah paralel dengan kriterium FIFA/AFC bukanlah suatu masalah. Tetapi setidaknya pemerintah–sebagai representasi rakyat– haruslah mempunyai kriterium sendiri.

Untuk kriterium di atas — Badan Olah Profesional Indonesia (BOPI) sebagai lembaga bentukan Kemenpora kiranya bisa merencanakan dan menginventarisasi kriteria sebagai rencana untuk pembentukan peraturannnya. Kriterium ‘Pro dan Non-Pro’ yang berlaku bagi semua jenis olah raga. Badan ini mempunyai tanggungjawab publik untuk merumuskannya, dan tidak sekedar sibuk melirik — dan mengintai cabang olahraga profesional mana yang bisa dikelolanya hehehe…..

Tulisan ini semoga dapat memberi sedikit gambaran tentang persoalan pada tingkat pengaturan mengenai pendanaan keolaharagaan, khususnya sepakbola  yang selama ini telah memakan banyak energi untuk diperdebatkan. Tentu selain trilyunan rupiah yang telah digelontorkan untuk sepakbola tanpa prestasi berarti selama ini.

Ini sekaligus memberi gambaran pula bahwa banyak persoalan di masyarakat — termasuk olahraga — justru bersumber dari kebijakan (publik) pemerintah. Kuatnya ego sektoral dan kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pembentukan peraturan berpotensi besar menimbulkan kerugian uang negara, dan membuka pintu lebar2 bagi praktek korupsi. Sayangnya evaluasi kebijakan publik lembaga pemerintah kita juga masih sangat lemah.

sumber : www.kompasiana.com dan lainnya





Jika anda ingin mengajukan pertanyaan, diskusi, atau kritikan dan Saran silahkan klik d i s i n i

Bagikan/Simpan/Bookmarks


Related Posts