Mendengar kata pajak, secara otomatis pikiran kita langsung teringat Gayus. Yah, Gayus dan Pajak sudah menjadi Brand Image tersendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, seorang pegawai pajak Golongan IIIa yang “nyambi” jadi konsultan pajak bias memperoleh fee sebesar Rp. 35 Milyar dari 3 perusahaan yang menggunakan jasanya (Jawa Pos, 9 Desember 2010). Sungguh sebuah fee konsultasi yang sangat besar dan menggiurkan. Tapi, fee itu hanya bisa dihasilkan oleh Konsultan Pajak Plat Merah.

Tapi saya tidak ingin membicarakan Gayus, atau kasus mafia pajak yang saat ini tengah ramai dibicarakan. Saya hanya ingin mengulas prospek usaha Konsultan Pajak yang semakin cerah di masa-masa yang akan datang. Tapi bukan bagi konsultan pajak plat kuning (baca : swasta), prospek ini ditujukan bagi Pegawai Negeri Sipil alias PNS.

Loh, kok PNS?

Iya, PNS. Saya gak salah ketik. Ini benar-benar peluang bagi PNS. Dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, justru peluang lahirnya Gayus-Gayus Lokal akan semakin terbuka. Bayangkan saja, Setelah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah, dengan adanya UU ini, daerah diberi kebebasan untuk menentukan tariff pajak setinggi-tingginya. Artinya, semakin banyak objek pajak yang bisa dipungut langsung oleh Pemerintah Daerah.

Tentu ini berkah bagi Pemerintah Daerah karena sumber PAD akan semakin besar. Akan tetapi, Daerah belum siap untuk menerapkan UU ini. Bahkan, Dari 492 Kabupaten/Kota se Indonesia, yang baru memiliki Perda untuk memungut pajak BPHTB ini baru sekitar 50 Pemda (JPNN.com).

‘’Saya patut prihatin, karena BPHTB ini sudah disetujui sejak tahun lalu. Per 1 Januari 2011, pemerintah pusat sudah tidak boleh lagi menagih BPHTB. Tapi meski ada jeda waktu dan kita telah melakukan sosialisasi, mengingatkan bahkan mengirimkan surat, realisasinya tidak berjalan baik,’’ kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Pernyataan bapak menteri itu menegaskan kepada kita bahwa pemerintah daerah belum siap menerapkan pemungutan pajak. Akan banyak permasalahan teknis maupun nonteknis dilapangan yang dapat menimbulkan dan bahkan mungkin menjadi ladang baru bagi petugas pemungut pajak. Sebagai contoh permasalahan tersebut adalah :

  • Database wajib pajak belum siap
    Ketika UU telah menyebutkan objek pajak, maka siapa-siapa yang akan dipungut pajaknya juga harus jelas. Database wajib pajak mutlak diperlukan untuk menghitung jumlah potensi pajak yang dapat dipungut. Dengan adanya database ini, maka pemerintah daerah bisa meminimalkan kemungkinan terjadinya kebocoran pendapatan. Tentu, untuk menyusun sebuah database wajib pajak daerah bukan hal yang mudah dan murah, tetapi juga bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan dalam waktu singkat jika memang mempunyai kemauan untuk menyusunnya.  
    Akan tetapi, mengingat buruknya sistem administrasi kependudukan di daerah, saya kok jadi pesimis akan kesanggupan pemerintah daerah menyusun database wajib pajaknya. 
  • Sistem penghitungan, penagihan, pemungutan, dan pengawasan serta sumber daya yang belum siap.
    Mekanisme/sistem penghitungan, pemungutan, penagihan, dan pengawasan ini penting untuk ditetapkan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Celah ini yang sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk memungut pajak dari WP untuk kantongnya sendiri.
  • Masalah yang terkait dengan peralihan pajak dari pemerintah pusat ke daerah
    Masalah yang terkait dengan peralihan ini mencakup database, saldo tagihan, dan progress tagihan pada saat peralihan.
Permasalahan tersebut di atas hanyalah sebagian kecil permasalahan teknis yang pasti akan terjadi ketika pemerintah daerah mulai menerapkan UU ini.

Selama yang berwewenang memungut pajak masih bermental kucing garong, justru permasalahan teknis tersebut bisa dijadikan peluang baru untuk mengeruk keuntungan. Inilah yang saya sebut prospek bisnis konsultan pajak plat merah.

Jika Perda Pajak Daerah dan Retribusi ditetapkan, kita ambil contoh saja warteg - yang kena pajak 10% untuk omset di atas Rp 60 juta setahun, atau Rp 5 juta/bulan, atau Rp 167.000/hari. Jika rata-rata tamu yang makan per hari 50 orang, maka rata-rata belanja mereka sebesar Rp. 3.340,- . Uang sebesar itu, mungkin hanya bisa membeli nasi dan lauk tempe, minumnya bawa sendiri dari rumah... Pasti semua warteg di seluruh Indonesia Raya harus membayar pajak daerah.

Kita tahu, hampir semua warteg tidak memiliki sistem pembukuan yang memadai untuk mencatat setiap transaksinya. Sehingga, ketika petugas pemungut pajak datang, maka langkah negosiasi pasti akan dilakukan oleh pemilik warteg untuk menyelamatkan usahanya. Sementara petugas tersebut mengetahui, Instansinya tidak memiliki database pasti tentang WP dan jumlah yang harus dipungutnya. Maka seketika itu, petugas pemungut pajak tersebut akan bekerja sampingan sebagai Konsultan Pajak (plat merah).

Kota Malang, tempat saya tinggal, seluas 110 Km2 dengan jumlah penduduk lebih kurang 1 juta jiwa, hampir setiap 20 m terdapat warteg. Dapat diperkirakan jumlah warteg se Kota Malang sebanyak 5.500 warteg. Jika setiap warteg membayar Rp. 100 ribu per bulan untuk pajak daerah, maka pendapatan pajak daerah dari warteg sebesar :

= Rp. 550.000.000,-/bulan
= Rp. 6.600.000.000,-/tahun

Jika fee konsultasi pajak sebesar 10% dari pajak yang dibayarkan, maka total pendapatan Fee sebesar Rp. 660.000.000,-/tahun. Ini baru hitungan dari warteg, belum restoran, Rumah makan, Catering dll. Sungguh, sebuah peluang usaha yang sangat menggiurkan. Adakah yang memanfaatkan peluang ini ????




Jika anda ingin mengajukan pertanyaan, diskusi, atau kritikan dan Saran silahkan klik d i s i n i

Bagikan/Simpan/Bookmarks


Related Posts