Dalam sebuah obrolan dengan klien, seorang teman sempat melontarkan joke bahwa dua pekerjaan yang paling dibenci orang adalah HRD dan auditor. HRD kata dia, adalah garda depan yang akan berurusan dengan loe kalo loe ada masalah dengan perusahaan. Yang menyebalkan adalah biasanya HRD paham banget dengan UU Naker sementara kita ngga, dan biasanya itu jadi kartu truf mereka. Sementara auditor, biasanya menambah load kerjaan dengan permintaan data yang segudang dan menimbulkan perasaan tidak nyaman karena menjadi obyek pemeriksaan.

Joke klien gue itu bikin gue makin sadar bahwa perlu lebih dari sekadar skill teknis audit untuk menjadi seorang auditor yang baik. Dari pengalaman, gue ingin berbagi beberapa tips yang sederhana tapi bisa jadi faktor determinan yang membedakan from good to great, from obnoxious to lovable :)

Make friends, not enemies. Auditor eksternal adalah profesi yang memungkinkan loe kenal dengan banyak orang baru di berbagai lingkungan baru. Rugi banget kalo kesempatan itu ga dimanfaatin untuk menambah teman. Bersikap profesional bukan berarti melupakan bahwa loe manusia dan auditee juga manusia, dan dengan kaku membatasi kontak dalam kerangka kerjaan. Dalam banyak kasus gue menemukan justru keluwesan kita dalam berinteraksi memberi banyak kemudahan dalam menyelesaikan tugas. Sebagai contoh, ketika pertama kali menemui seorang manajer di sebuah perusahaan telco terbesar di Indonesia, gue melihat dinding ruangannya penuh dengan foto bangunan-bangunan terkenal di Jerman, difoto hitam putih dengan komposisi ciamik. Gue putuskan untuk menjadikan foto-foto itu sebagai ice breaker, “Itu kan Allianz Arena? kenapa difoto hitam putih? bukannya fotografer biasanya menangkap keajaiban stadion itu berubah warna ?” Dari pertanyaan itu akhirnya kita ngobrolin bagaimana si manajer itu rupanya berusaha mengabadikan ciri khas Jerman, paduan fungsionalitas dan estetika, yang lebih kuat ditangkap dengan cara memotret seperti itu.

Di lain klien, gue memanfaatkan info jadwal kepulangan haji dari stafnya, untuk mengirim sms ucapan selamat yang tepat waktu pada seorang Dept. Head yang jadi auditee gue. Usaha-usaha remeh tapi tulus yang menunjukkan kita melihat orang itu sebagai pribadi yang utuh, pada gilirannya akan membuka banyak pintu.

Help the client fulfill their commitment. Pekerjaan audit sangat tergantung pada bantuan klien. Baik itu berupa data-data yang harus disediakan atau waktu auditee untuk melayani pertanyaan dan konfirmasi kita. Seringkali jadwal audit molor karena data yang belum tersedia. Karena itu penting untuk sejak awal meminta komitmen dari klien berupa jadwal tersedianya data.

Nah, tugas kita adalah membantu klien menepati komitmen yang sudah dia buat. Beberapa resep yang harus diingat adalah: pastikan jadwal tersebut dapat dipenuhi-kita harus paham betul dengan kesibukan dan agenda internal klien, ingatkan klien kalau dia menyodorkan jadwal yang tak mungkin dipenuhi karena kita tahu dia pasti sibuk dengan hal lain.

Kedua, bantu klien untuk mengerti kebutuhan dan tujuan audit kita, biasanya keengganan klien muncul karena dia tidak tahu sebenarnya mau kita apa. Contoh, seorang admin firewall akan curiga kalau kita srudak-sruduk minta rule yang di-implement di jaringan.

Ketiga, jangan cuek dengan birokrasi dan sopan santun organisasi klien. Pastikan kita meminta data yang tepat kepada orang dengan wewenang dan pengetahuan yang tepat. Hindari kondisi-kondisi tidak enak dimana kita diberi suguhan aksi seorang atasan yang memarahi bawahannya karena lancang memberi data ke auditor.

Keempat, jangan pasif ketika mengunggu data. Sempatkan diri untuk memberi gentle reminder lewat email atau telepon. Jangan lupa menanyakan dengan penuh atensi apakah klien mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan kita.

Don’t corner, give some space. Alkisah, dalam suatu engagement gue dipasangkan dengan seorang senior yang punya “reputasi”. Pada satu sesi inquiry, gue menyaksikan bagaimana si senior memborbardir klien dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun. Terkesan jelas bagaimana si senior lebih tertarik untuk menghabiskan list pertanyaan yang sudah dibuat daripada mendengar dan mem-follow up jawaban klien. Belum lagi bagaimana si senior itu entah gimana sepertinya punya skill untuk selalu barging in ke ruangan auditee pada saat yang salah. Ga heran kalau belakangan si auditee bilang dengan ketus ke si senior, “You bring the worst outta people”.

Jangan melupakan fakta bahwa selain urusan dengan auditor, auditee kita juga harus menghadapi tekanan tugas kesehariannya yang kompleks, apalagi kalau pada saat bersamaan dia juga sedang dikejar deadline proyek internal yang mission critical.

Professional scepticism. Ini mentalitas utama auditor yang ga boleh pernah ketinggalan. Di awal-awal gue jadi auditor, gue seringkali membuat kesalahan karena begitu mudah percaya dengan omongan klien atau termakan oleh asumsi-asumsi yang gue buat sendiri.

“Oh iya Pak, audit trail log ini pasti kita review tiap minggu” atau “Saya pribadi memastikan bahwa proses anu sudah berjalan sesuai SOP” atau “Itu kita buat kok Pak, tapi kita masih harus nyari ditaruhnya di mana”. Rule of thumb-nya adalah no evidence, not done. Biasakan untuk selalu based on fact, fakta dan hanya faktalah yang punya tempat di laporan audit. Sedekat apapun hubungan dengan klien, indra curiga ini harus tetap jadi batas yang membedakan kita sebagai seorang profesional.

If you strike, strike with respect. Dalam banyak kesempatan sebagai auditor loe akan berjumpa dengan yang namanya finding. Bahkan ada temen gue yang menilai kerjanya dari berapa banyak finding yang dia bisa angkat dalam suatu engagement. Kontrol-kontrol yang tidak efektif, entah karena kelalaian, ketidaktahuan, atau kemalasan. Terkadang kita dibuat bertanya-tanya apakah klien tidak menghitung risiko yang mungkin sehingga begitu abai dengan kontrol yang sangat penting ?

Hal yang utama adalah, betapapun “gemes”nya kita melihat ketidakberesan di klien jangan sampai kita “menghukum” klien. Sampaikan temuan dengan bahasa yang konstruktif dan tidak men-judge. Pastikan untuk selalu mengkonfirmasi sebelum memasukan temuan ke dalam laporan. Jangan lupa juga mengingat rantai birokrasi di klien, setiap temuan harus diinformasikan dari level terbawah baru menuju ke atas.

What happen in audits, stay in audits. Kalau soal yang ini pasti semua sudah mengerti. Sebagai auditor, pasti diberikan akses leluasa ke berbagai informasi yang sifatnya confidential. Kepercayaan klien tentu saja harus dijaga, jangan sampai reputasi pribadi dan firma ternoda dengan sebutan auditor ember.

Well, segitu dulu. Setelah gue baca ulang sih banyak intisari tulisan ini yang cocok diterapkan dalam pekerjaan selain auditor. Back to work…

Jadi inget, jangan sampai profesi auditor jadi profesi yang dibenci semua orang. Ini tanggung jawab kita (eh, kalian ding). Jadi teringat, waktu ejek-ejekan soal profesi sama seorang sahabat, yang berprofesi sebagai marketing. Dia nyindir gini: "Mau tau, apa beda auditor yang mati ditabrak mobil, sama rusa yang ditabrak mobil? - Kalo rusa, ada bekas rem selip di depannya ..."  

"Lah, kalau auditor?"

"Ngapain ngerem? Kalo nampak auditor, tabrak aja! Hahahaha ..."  

Sial ....3^%%^#$%#@&65$7^

Related Posts