Beberapa hari terakhir, di penghujung tahun 2009, semua anggota legislatif dan eksekutif sibuk menyiapkan APBD untuk tahun 2010. Pembahasan dimulai ketika eksekutif mengajukan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) , berlanjut ke pembahasan Ranperda APBD, lalu pengesahan RAPBD oleh anggota legislatif.

Dalam upayanya memberantas korupsi, pemerintah melalui UU No. 17 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja telah berupaya keras untuk memerangi korupsi. Akan tetapi, aturan dibuat hanyalah sebagai pelengkap dan simbol eksistensi negara. Dalam implementasinya masih jauh panggang dari api.

Hal ini terlihat dari beberapa RAPBD 2010 yang saya temui di berbagai daerah. Eksekutif dengan mudahnya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya telah berhasil menyusun RAPBD asal jadi. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman anggota legislatif tentang angka-angka yang tersusun rapi dalam RAPBD yang akan disahkan tersebut. Dengan alasan waktu yang semakin mendesak, demikian mudahnya RAPBD yang diajukan Eksekutif lolos bak kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi di jalan tol. ( hanya perlu membayar tiket masuk tol saja).

Mengutip artikel rekan saya disini, agar negara ini bebas korupsi, perlu adanya Audit atas Anggaran yang diajukan oleh Eksekutif. Hal-hal yang perlu diperiksa dalam mencermati sebuah APBD adalah :

Pendapatan

Tidak tersedianya data yang valid juga mengakibatkan pembuatan anggaran pendapatan sedikit ngawur, khususnya anggaran pendapatan yang terkait dengan Parkir, Retribusi Pasar, dan Retribusi Kebersihan serta Pajak-pajak daerah.

Data valid yang dimaksud adalah potensi kekayaan daerah yang bisa diukur secara matematis sehingga bisa meningkatkan pendapatan asli daerah. Selama ini, anggaran pendapatan hanya didasarkan data masa lalu (tahun sebelumnya) yang juga tidak terukur secara valid.

Sebagai contoh dalam menentukan pendapatan retribusi parkir, maka data valid yang diperlukan adalah :
  • Jumlah titik parkir
  • Jumlah kendaraan roda dua dan roda empat yang ada dalam wilayah suatu daerah. Jumlah ini bisa diketahui dengan cara menghitung jumlah kendaraan yang terdaftar di daerah tersebut, dikurangi estimasi kendaraan yang terdaftar namun berada di daerah lain, dan ditambah estimasi kendaraan yang terdaftar di daerah lain namun berada di wilayah daerah tersebut.
Jika semua unsur sumber pendapatan terukur secara valid, dapat dipastikan pendapatan asli daerah tersebut lebih tinggi dari anggaran pendapatan yang tercantum dalam APBD.


Belanja
  1. Standar Harga Satuan Dasar. Ketika saya mencermati angka-angka yang ada dalam RAPBD tersebut, demikian jelasnya angka-angka sumber korupsi itu terlihat, khususnya harga satuan. Memang, harga satuan ini telah sesuai dengan peraturan daerah tentang Standar Satuan Harga sesuai Permendagri 13/2006 maupun Permendagri 59/2007. Akan tetapi kita mesti ingat bahwa ketetapan harga satuan ini adalah peraturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah, sehingga kewajaran harganya belum bisa diyakini.
  2. Kuantitas kebutuhan Barang/Jasa. Kejanggalan lain yang bisa ditemui dalam sebuah APBD adalah pos-pos kegiatan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif seperti : Anggaran Pelatihan, Seminar, Monitoring dan evaluasi. Pos-pos pengeluaran yang biasa dipakai untuk mark-up biasanya meliputi jumlah peserta, jumlah jam pelatihan, tarif Hotel, tarif konsultan dan beberapa pengeluaran lain yang sulit untuk diukur.
  3. Kualitas Kebutuhan Barang/Jasa. Dalam anggaran pengadaan barang/jasa, jarang sekali disebutkan tentang kualitas yang dibutuhkan. Proyek-proyek yang akan dikerjakan terkadang dibuat tidak melalui pengkajian luas proyek, spesifikasi dan kualitas bahan yang dibutuhkan. Spesifikasi dan kualitas biasanya dibuat setelah besarnya anggaran telah disetujui, sehingga disini terlihat jelas bahwa Kualitas disesuaikan dengan Harga, bukannya harga menyesuaikan kualitas.
Karena alokasi biaya yang dipasang di APBD sifatnya adalah plafon. Nanti pada saat pengadaan dilakukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)/Owner Estimate (OE) sesuai harga pasar. Disini letak konspirasi antara Tim pengadaan barang/jasa dengan Rekanan penyedia barang/jasa terjadi. Siapa dapat apa akan ditentukan sesuai negosiasi.

Lain halnya jika pengadaannya dilakukan dengan methode eProcurement yang kompetitif dan tranasparan, harga akan terkoreksi lagi menjadi lebih rendah.

Pemborosan Anggaran

Hal-hal di atas adalah bagian yang terkait dengan angka-angka dalam anggaran. Kalau kita mau mencermati lebih dalam pada kegiatan-kegiatan yang ada dalam APBD, maka kita akan menemui banyak pemborosan anggaran (Jawa Pos 31 Desember 2009).

Pertama, terkait pemberian fasilitas kedinasan. Kasus mobdin dan tunjangan perumahan anggota legislatif maupun tunjangan lain yang tak jelas output dan outcome-nya, termasuk pada golongan pertama ini. Bisa dibayangkan, berapa uang rakyat yang digunakan untuk membiayai fasilitas kedinasan yang tidak jelas efektivitasnya tersebut?

Sangat mungkin apa yang berlangsung di jajaran birokrasi merupakan bentuk ''warisan budaya'' patrimonial governance. Yakni, elite-elite birokrasi masih sulit memisahkan kepemilikan pribadi dengan publik di satu sisi dan paradigma yang menganggap penampilan luar sebagai unsur penentu kewibawaan di sisi lain.

Hal itu yang kemudian mendorong elite-elite pejabat seakan berlomba-lomba dalam meningkatkan kuantitas/kualitas fasilitas dinasnya dengan memanfaatkan privilege yang mereka miliki. Serta mengeksploitasi kekuasaan selayaknya kekayaan pribadi meski dengan konsekuensi membengkakkan anggaran belanja pemerintah.

Penulis bukan mengatakan tidak perlu adanya aturan keprotokoleran. Tapi, apa arti aturan tersebut jika ujung-ujungnya tidak memberikan manfaat kepada publik?

Sumber pemborosan kedua yang tidak jelas manfaatnya adalah anggaran untuk perjalanan dinas. Termasuk di dalamnya anggaran untuk studi banding. Anggaran untuk perjalanan dinas setiap satuan kerja hampir dapat dipastikan memiliki jumlah signifikan.

Namun, efektivitas dari biaya perjalanan dinas tersebut patut dipertanyakan. Bukan rahasia umum lagi bahwa kegiatan perjalanan dinas atau studi banding sering tidak tepat sasaran.

Ketiga, pemborosan dalam pengadaan barang/jasa. Terutama barang/jasa yang tidak dipersyaratkan melalui pelelangan. Itu terkait indeks harga belanja pemerintah yang acapkali di atas harga pasar. Selisih harga itulah yang menyebabkan pemborosan anggaran dan memiliki potensi terjadi penyimpangan.

Keempat, paradigma para birokrat yang cenderung berorientasi ''proyek''. ''Proyek'' lebih dipandang sebagai sumber tambahan pendapatan pribadi daripada kegiatan untuk menyejahterakan masyarakat. Fenomena birokrat yang cenderung mengejar proyek dapat diamati cirinya dari pengerjaannya yang relatif asal-asalan dan tidak jelas impact-nya.

Kelima, pemborosan yang secara nominal ''kecil'', tapi berlangsung terus-menerus. Bisa dikategorikan dalam praktik itu, antara lain, pemanfaatan fasilitas kantor untuk kepentingan tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, pemanfaatan mobdin, telepon, atau komputer kantor untuk keperluan pribadi.

Persoalan Sistem

Selain kelima modus tersebut, ada sumber pemborosan besar-besaran, namun sifatnya given sebagai akibat gemuknya struktur birokrasi pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah perlu mengeluarkan biaya besar dalam menggerakkan birokrasi. Terutama untuk menggaji para pegawai beserta pejabatnya.

Konsekuensi atas gemuknya struktur birokrasi tersebut bisa dilihat dari besarnya persentase alokasi belanja pegawai bila dibandingkan dengan belanja pembangunan, baik di pusat maupun daerah.

Bisa diartikan, sumber dari segala sumber pemborosan anggaran pemerintah berasal dari persoalan sistemik. Sistem penganggaran kita harus diakui masih lemah, khususnya dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sistem yang ada juga belum menjamin terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik.

Oleh karena itu, harus ada pembenahan menyeluruh terhadap struktur birokrasi dan peraturan perundang-undangan sehingga dapat memacu bekerjanya mekanisme birokrasi secara efisien.

Sangat disadari bahwa pembenahan itu dapat berdampak luas. Perlu keberanian ekstra untuk membuat perubahan karena berbagai resistensi amat mungkin terjadi.

Pemerintah pusat mempunyai peran strategis untuk memelopori budaya birokrasi yang efisien. Presiden SBY seyogianya dapat memberikan keteladanan, bukan hanya bermain retorika yang justru kontraproduktif terhadap upaya reformasi birokrasi.

Intervensi pemerintah pusat melalui penyusunan regulasi yang proefisiensi diyakini mampu ''meluruskan'' praktik-praktik pemborosan anggaran. Dengan catatan, implementasi atas regulasi tersebut harus diiringi pemberian reward and punishment yang tegas.

Tanpa ada ketegasan sanksi, kecil kemungkinan efisiensi anggaran akan terwujud. Lihat saja, misalnya, walaupun Permendagri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 telah menyebutkan bahwa penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi, kenyataannya kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut masih jauh dari harapan.

Meski telah ditentukan pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar, dan lokakarya, tidak sedikit pemerintah daerah yang justru membahas RAPBD-nya di luar daerah.

Jadi, akhirnya semua kembali kepada persoalan moralitas individu. (*)




Jika anda ingin mengajukan pertanyaan, diskusi, atau kritikan dan Saran silahkan klik d i s i n i


Bagikan/Simpan/Bookmarks









Related Posts